Jumat, 09 Juli 2010

Jangan Tabung Gas Ini Jadi Bom Waktu di Rumah Kami

Aer Terkini - Wasiah (30) sedang bersiap memasak ketika bau gas menyengat menyesaki udara dapur. Ada kebocoran gas! Dengan panik dia mencopot tabung gas 3 kg miliknya, lalu dia berlari ke depan rumah dan melempar tabung hijau itu di jalanan. "Tolong! Gas bocooor!"

Itulah sekelumit pengalaman buruk Wasiah tahun lalu saat menggunakan tabung gas 3 kg. Saat berbincang dengan detikcom, ibu rumah tangga ini mengatakan merasa takut saat baru pertama memakai tabung gas. "Untung waktu itu tidak meledak, tetangga juga malah pada lari," kata dia, Kamis (8/7/2010).



Wasiah hanyalah satu dari sekian banyak warga yang khawatir. Setelah tiga tahun program konversi tabung gas berjalan, kasus-kasus ledakan gas berulang kali meramaikan pemberitaan di berbagai kota. Namun, kembali menggunakan minyak tanah juga bukan menjadi pilihan. "Minyak tanah mahal, Rp 9.000 seliter. Mending gas saja, Rp 15.000 bisa berminggu-minggu," kata Wasiah.

Lantas siapa yang salah? Pemerintah, LSM, distributor, semua saling tuding. Pemerintah yakin tabung gas yang beredar sudah oke, namun selang dan regulator diduga menjadi biang keladi karena belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).

"Lah kok kenapa sekarang mempersoalkan soal SNI? Kenapa nggak dari dulu? Kenapa sekarang setelah sering meledak? Kalau kita jadi korban, baru dipikirin. Jangan mikirin untungnya saja," cetus Wasiah kesal.

Senada dengan Wasiah, ada lagi Sutarjo (45). Dia adalah seorang pedagang warung makanan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Menurut dia, sosialisasi penggunaan tabung gas baru ramai sekarang. Saat program konversi dimulai sekitar 3 tahun lalu, warga hanya diberikan tabung gas dan perlengkapannya, tanpa pemberitahuan cara penggunaan yang benar.

"Ya langsung diberikan begitu saja. Bagi masyarakat di Jakarta tentunya sudah biasa. Nah, yang di kampung dan pedesaan bagaimana? Di kampung saya yang dekat dengan Pertamina Balongan, Indramayu, juga nggak ada penyuluhan," ungkap Sutarjo saat berbincang dengan detikcom di warungnya.

Sutarjo pun memilih untuk belajar sendiri memakai tabung gas dengan aman. Saat ini, dia memakai 4 tabung gas 3 kg untuk kebutuhan rumah dan warung makannya. Sutarjo pelan-pelan mempelajari, tabungnya memang awet, namun masalahnya ada pada karet. Baik karet di lubang tabung untuk menyekat regulator, dan juga karet selang.

"Justru yang paling bahaya itu di karet, kalau tabung juga nggak ada masalah. Kalau selang banyak yang patah dan retak, saya beberapa kali ganti. Regulator juga sering rusak. Antara kepala regulator dan kepala tabung sering nggak pas. Karet juga rusak, makanya kepala tabung saya tambah karet gelang agar lebih pas. Bahkan, ketika dipasang regulatornya, saya tindih lagi dengan batu bata," ujarnya tersenyum.

Sementara itu, kompor yang dibagikan pemerintah merek Wika, diakui Sutarjo juga tidak terlalu bermasalah. Kompor Quantum dan Supra juga menurut Sutarjo tidak masalah. Sutarjo dan Wasiah, sungguh berharap pemerintah memperbaiki kualitas tabung, regulator, selang dan karet.

Lalu bagaimana respons pemerintah? Menko Kesra Agung Laksono kepada wartawan di kantornya beberapa waktu lalu mengakui kalau ada masalah dengan selang karet dan regulator yang tidak sesuai dengan SNI, selain juga sosialisasi yang kurang. Sementara masyarakat juga dihimbau untuk memiliki sirkulasi udara yang baik di dapur dan tidak tertutup. Pemerintah juga berjanji mengeluarkan produk selang dan regulator baru.

"Presiden sudah setuju. Masyarakat dapat membeli yang baru, dapat pengganti selang dengan harga dari pabrik Rp 15.000 dan regulator Rp 20.000. Adapun pajak penjualan 10 persen ditanggung pemerintah. Masyarakat dapat dua fasilitas. Pembebasan pajak penjualan 10 persen, dan harga pabrik, dimana jauh lebih rendah dari pasar," jelas Agung dalam jumpa pers kepada wartawan di kantornya, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (6/7/2010) kemarin.

Atas rencana itu, orang-orang seperti Sutarjo dan Wasiah hanya angkat bahu. Pemberitaan di media massa menurut mereka akan sia-sia, jika tidak ada aparat pemerintah yang turun sampai ka lapisan masyarakat terbawah.

"Nggak cukuplah hanya berita di koran dan televisi. Bagaimana kek caranya itu sampai ke masyarakat di bawah. Jangan sampai ini seperti bom waktu yang siap meledak di rumah kita," jawab Sutarjo tegas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar